Bisakah Filsafat Dibumikan?

Saya sering ditohok dengan pertanyaan diatas. Banyak orang yang menganggap tema-tema  filsafat apalagi istilah-istilahnya yang kaku dan tidak populer sebagai sesuatu yang melangit, di awang-awang, tidak membumi, tidak aplikatif dan sebagainya. Pertanyaan diatas biasanya dilontarkan oleh mereka yang tidak akrab dengan filsafat atau bahkan sinis terhadapnya.

Ada pula yang menyukai filsafat namun berharap ia dapat dibreakdown dan disajikan sebagai konsep yang bisa dijadikan solusi kongkret bagi realitas sosial yang kontemporer. Tidak jarang yang ditanya juga kebingungan. Pertanyaan diatas bisa dijawab bila posisi filsafat diketahui secara jelas. Karena itu, ada baiknya bila kita memulainya dengan menjelaskan kedudukannya.

Filsafat adalah sebuah bidang pemikiran yang semula hanya membahas tema umum, seperti ontologi atau metafisika. Belakangan hampir semua bidang dikaitkan dengan filsafat, terutama setelah filsafat oleh Barat diceraikan dari metafisika dan ketuhanan. Filsafat, sebagaimana dijelaskan oleh para dedengkotnya, adalah pengetahuan universal (al-ilm al-kulli) atau ilmu transenden (al-ma’rifah al-ulya) yang hanya membicarakan wujud sebagai wujud (tanpa kaitan apapun).

Karena semua tema ilmu mesti bersumber dari wujud, maka filsafat bertugas membangun kesadaran tentang eksistensi. Karena kesadaran akan eksistensi meliputi semua bidang pemikiran (agama, sastra, budaya, sain, dan sebagainya), maka ia tidak bisa memposisikan dirinya sebagai subjek yang elementer atau dipartisi alias dikongkretkan. Ia mesti berada di atas karena wujud tidak bisa diturunkan sejajar dengan tema apapun. Ia mesti diatas (di awang-awang) karena berfungsi sebagai pencurah.

Namun, meski di awang-awang, semua tema yang dilingkupinya memerlukannya. Dengan kata lain, memohon filsafat turun ke bumi sama dengan meminta filsafat meniadakan dirinya dan mengambil alih posisi ilmu-ilmu partikular alias sain.

by Muhsin Labib on Monday, April 18, 2011 at 12:00am