Home > Uncategorized > Mengenal Rumi (Bagian 1)

Mengenal Rumi (Bagian 1)

Jalaluddin al-Rumi adalah seorang ahli tasawuf dan penyair sufi Persia terbesar sepanjang sejarah. Nama lengkapnya Jalaluddin Muhammad bin Husyain al-Khatibi al-Bahri. Takhallus atau nama julukan al-Rumi dikenakan kepadanya dirinya, karena sang sufi menghabiskan sebagian besar hidupnya di Konia, Turki, yang dahulunya merupakan bagian dari wilayah kemaharajaan Rumawi Timur. Pada masa Rumi penduduk kota itu terdiri dari orang-orang Arab, Persia, Turki, Yunani, Armenia dan Yahudi. Orang-orang Kristen keturunan Yunani dan Armenia juga masih banyak terdapat di situ, dan tidak sedikit di antara mereka pernah menjadi murid Rumi.

Rumi dilahirkan pada tanggal 6 Rabi’ul Awal 604 H sama dengan 30 September 1207 M di Balkh, Afghanistan sekarang. Ketika itu wilayah tersebut merupakan bagian dari wilayah kerajaan Khwarizmi yang beribukota di Bukhara, Transoksiana. Rumi wafat pada tanggal 5 Jumadil Akhir tahun 672 H sama dengan 16 Desember 1273 M di Kunya.

Ayah Rumi, Muhammad ibn Husyain al-Khatibi alias Bahauddin Walad, adalah seorang ulama terkemuka dari Ballkh, Afghanistan sekarang. Pada abad ke-12 dan 13 M Balkh merupakan bagian dari wilayah kerajaan Khwarizmi, di Transoksiana Asia Tengah, dengan ibukotanya Bukhara. Pada tahun 1210 M, sebelum Khwarizmi diserbu tentara Jengis Khan, Bahauddin Walad bersama keluarganya meninggalkan Balkh tanpa alasan yang jelas. Ada yang mengatakan disebabkan persoalan politik. Raja Khwarizmi ketika itu, Muhammad Khwarizmi-syah, menentang keberadaan Tariqat Kubrawiyah yang dipimpin oleh Bahauddin Walad. Pendapat lain yang tidak sedap ialah karena Bahauddin Walad kuatir terhadap serbuan tentara Mongol yang ketika itu telah menghampiri wilayah kerajaan Khwarizmi. Tetapi pendapat ini tidak didasarkan alasan yang kuat, sebab pasukan Jengis Khan pada tahun 1210 M masih bersusah payah menaklukan bagian-bagian utara dari negeri Cina yang merupakan jembatan menuju ke Asia Tengah.

Bahauddin Walad mula-mula membawa keluarga menuju Khurasan dan Nisyapur di Iran Utara. Ketika itu Rumi masih berusia tujuh tahun. Sepuluh tahun kemudian, yaitu pada tahun 1220 M kerajaan Khwarizmi yang tengah dilanda krisis internal, sekonyong-konyong diserbu oleh Jengis Khan sebagai pembalasan atas dibunuhnya utusan dagang Mongol yang dikirim ke Khwarizmi beberapa tahun sebelumnya. Ketika itu keluarga Rumi telah meninggalkan Nisyapur menuju Baghdad. Tidak lama keluarga Rumi melakukan perjalanan ke Mekkah dan baru setelah itu menuju Damaskus. Pada akhirnya keluarga sang sufi itu menemukan tempat tinggal terakhir yang menyenangkan dan aman dari hiruk-pikuk peperangan di Kunya, Anatolia. Sebelum direbut oleh pasukan Bani Saljug, kota ini termasuk wilayah kemaharajaan Rumawi Timur atau Byzantium. Pada akhir abad ke-11 M Kunya direbut oleh Bani Saljug yang berkuasa di Anatolia hingga abad ke-13 M.

Rumi mula-mula mempelajari tasawuf dari ulama terkenal bernama Burhanuddin al-Tirmidhi. Tetapi guru kerohaniannya yang sebenarnya ialah Syamsudin al-Tabrizi atau Syamsi Tabriz. Sebelum tampil sebagai ahli tasawuf dan sastrawan terkemuka, Rumi adalah seorang guru agama yang memiliki banyak murid dan pengikut. Dalam usia 36 tahun dia sudah bosan mengajar ilmu-ilmu formal. Dia insyaf bahwa pengetahuan formal tidak mudah mengubah jiwa murid-muridnya. Sebelum jiwa dan pikiran seseorang mendapat pencerahan, menurut Rumi, tidak akan perubahan itu terjadi. Setelah mempelajari tasawuf, Rumi menyadari bahwa dalam diri manusia terdapat suatu tenaga tersembunyi, yang jika dijelmakan sungguh-sungguh dengan cara yang tepat akan dapat membawa manusia meraih kebahagian dan pengetahuan luas. Tenaga tersembunyi itu ialah Cinta Ilahi (`isyq).

Ketika itulah, yaitu pada tahun 1244-5 M. Rumi berjumpa seorang darwish agung dari Tabriz (ibukota Daulah Ilkhan Mongol di Persia pada masa itu) bernama Syamsiddin al-Tabrizi. Pertemuan dengan Syamsi Tabriz ini merubah total kehidupan Rumi. Syamsi Tabriz adalah pemimpin tasawuf yang suka mengembara dari suatu ke kota lain, tanpa memikirkan harta dan keselamatan jiwanya. Dia tidak pernah merasa takut akan maraknya peperangan yang masih berkecamuk di tempat-tempat yang dia lalui. Dia benar-benar faqir dalam arti sebenarnya. Dia mengajarkan pada orang-orang Islam yang putus asa dan kebingungan disebabkan penjarahan yang dilakukan pasukan Mongol dan Salib. Yang diajarkan ialah kekuatan Cinta Ilahi dalam merubah nasib manusia dan apabila manusia berikhtiar untuk meraihnya maka ia akan dapat merubah nasibnya itu. Dia juga mengajarkan agar umat Islam senantiasa memerangi kelemahan-kelemahan dan kebodohan-kebodohan yang bersarang dalam dirinya, terutama disebabkan ajaran Jabbariyah dan faham yang mengutamakan taqlid.

Selama berada di Kunya khutbah-khutbah yang disampaikan Syamsi Tabris sangat memikat penduduk. Kepribadian tokoh ini juga memberi kesan mendalam terhadap Rumi. Sejak saat itulah Rumi tidak pernah mau berpisah dari gurunya yang baru itu. Kemana pun sang darwish pergi, Rumi muda selalu mengikutinya. Hingga tiba saatnya keduanya harus berpisah: Syamsi Tabriz diusir oleh ratusan murid Rumi yang tidak menyukai kehadirannya di Kunya dan terpaksa pergi ke kota lain. Rumi merasa sedih dan kerinduannya terhadap gurunya memaksanya juga pergi meninggalkan Kunya untuk memperdalam ilmu tasawuf. Ketika itu Rumi telah berusia 37 tahun dan pertemuannya dengan Syamsi Tabriz membuat bakatnya sebagai penyair hidup kembali. Maka lahirlah syair-syair yang indah dari tangannya bertemakan cinta dan kerinduan mistikal.

Tetapi seperti dikatakan Syamsi Tabriz, cinta dapat mentransformasikan jiwa seseorang menjadi lain. Rumi bukan saja mengalaminya. Cintanya pada gurunya yang tak kunjung dijumpainya lagi sejak perpisahannya yang terakhir, kini berubah menjadi cinta transendental, yaitu cinta ilahiyah. Maka ia pun mengakhiri pengembaraannya dan kembali ke Kunya untuk mengajarkan penemuannya yang baru dalam ilmu tasawuf kepada murid-muridnya. Sejak itu Rumi bukan saja masyhur sebagai ahli tasawuf dan guru keruhanian, melainkan juga sebagai sastrawan agung dan budayawan terkemuka di seantero Dunia Islam.

Sebagai penyair atau sastrawan Rumi melahirkan karya yang tidak sedikit. A. J. Arberry sebelum menulis bukunya Classical Persian Literature (1958) telah meneliti karya-karya Rumi dalam banyak naskah di berbagai tempat. Dia mendapatkan bahwa Rumi telah menulis tidak kurang dari 34.662 bait syair dalam bentuk ghazal (sajak-sajak cinta mistikal), ruba’i (sajak-sajak empat baris dengan pola rima teratur AABA yang sangat populer dalam sastra Persia) dan matsnawi, karangan bersajak seperti prosa berirama dalam sastra Melayu. Kecuali dia juga menulis karangan prosa termasuk rasa`il (wacana ilmiah) dan khitabah (khotbah). Karangan puisi dan prosa dikumpukan beberapa bunga rampai seperti berikut:

1. Divan-Syamsi-i-Tabriz.Diwan adalah semacam sajak-sajak pujian seperti qasidah dalam sastra Arab. Dalam sastra sufi dan keagamaan ang dipuji ialah sifat, kepribadian, akhlaq dan ilmu pengetahuan yang dimiliki seorang tokoh. Dalam bunga rampainya ini Rumi mulai mengungkapkan pengalaman dan gagasannya tentang cinta transendental yang diaihnya di jalan tasawuf. Kitab ini terdiri dari 36.000 bait puisi yang indah, sebagian besar ditulis dalam bentuk ghazal.

2. Matsnawi-i-Ma`nawi. Artinya karangan bersajak tentang makna-makna atau rahasia terdalam ajaran agama. Ini merupakan karya Rumi yang terbesar, tebalnya sekitar 2000 halaman dibagi menjadi enam jilid. Kitab ini juga disebut Husami-nama (Kitab Husam). Apabila Divan-i-Syamsi Tabriz diilhami oleh ajaran gurunya Syamsi Tabriz, Matsnawi ditulis untuk memenuhi permintaan Husamuddin, salah seorang murid dan sekaligus sahabat Rumi yang terkemuka. Husamuddin memohon agar Rumi bersedia memaparkan rahasia-rahasia ilmu tasawuf dalam bentuk karya sastra seperti Hadiqqah al-Haqiqah karya Syekh Sana’i dan Mantiq al-Tayr karya Fariduddin al-`Attar. Rumi memenuhi permohonan itu. Kitab ini selesai dikerjakan setelah 12 tahun sejak dituturkan oleh Rumi kepada Husamuddin. Afzal Iqbal dalam bukunya Life and Works of Rumi (1956) menyebutkan buku ini terdiri dari 25,000 bait prosa lirik, sedangkan Encyclopaedia Britanica (vol.. XIX, 1952) menyebutkan terdiri dari 40.000 bait. Abdul Rahman al-Jami, sufi Persia abad ke-15 M, menyatakan bahwa Matsnawi merupakan ‘tafsir al-Qur’an yang indah dalam bahasa Persia’ (Hast Qur’an dar zaban-i Pahlavi). Yang dimaksud tafsir oleh Jami ialah ta’wil atau tafsir keruhanian terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang ditulis dalam bentuk karangan bersajak yang indah. Buku ini dianggap sebagai karya sufi terbesar sepanjang zaman. Nilai didaktik dan sastranya mengagumkan. Setiap jilid memuat pendahuluan dalam bahasa Arab, dan selanjutnya penulisnya menggunakan bahasa Persia. Rumi menguraikan dalam bukunya itu keluasan dari lautan semangat keruhanian dan perjalanan manusia menuju dunia dan dari dunia menuju kebenaran hakiki.

3. Ruba`iyat.Walaupun tidak terkenal seperti Divan dan Matsnawi, namun sajak-sajak dalam antologi ini tidak kurang indah dan agungnya dari sajak Rumi yang lain. Bunga rampai ini terdiri dari 3.318 bait puisi. Melalui kitabnya ini Rumi memperlihatkan dirinya sebagai salah seorang penyair lirik yang agung bukan saja dalam sejarah sastra Persia, namun juga dalam sejarah sastra dunia.

4. Fihi Ma Fihi(Di Dalam Ada Seperti Yang Di Dalam). Kumpulan percakapan umi dengan sahabat-sahabat dan murid-muridnya. Buku inii membicarakan terutama sekali persoalan-persoalan berkenaan dengan masalah sosial dan keagamaan yang ditanyakan oleh murid-muridnya. Ia sekaligus merupakan bukti bahwa seorang sufi seperti Rumi juga giat membicarakan persoalan sosial dan keagamaan yang hangat pada zamannya.

5. Makatib.Kumpulan surat-surat Rumi kepada sahabat-sahabat dekatnya, khususnya Syalahuddin Zarkub dan seorang menantu perempuannya. Dalam buku ini Rumi mengungkapkan kehidupan ruhaninya sebagai penempuh ilmu suluk. Di dalamnya juga dimuat nasihat-nasihat Rumi kepada murid-muridnya berkenaan persoalan-persoalan amali (praktis) dalam ilmu tasawuf.

6. Majalis-i-Sab`ah.Himpunan khutbah-khutbah Rumi di berbagai masjid dan majlis-majlis keagamaan.

F. C. Happold (1960) memasukkan Rumi ke dalam tokoh terkemuka mistisisme cinta dan persatuan mistis (unio mystica). Mistisisme jenis ini berusaha membebaskan diri dari rasa terpisah dan kesebatangkaraan diri, dengan menyatukan diri dengan alam dan Tuhan, yang membawa rasa damai dan memberi kepuasan kepada jiwa. Merasa sebatang kara, mistikus cinta berusaha menanggalkan ‘diri khayali’ yang rendah (nafs) dan pergi menuju diri yang lebih agung, Diri Hakiki. Menurut pandangan miskus cinta, manusia adalah makhluq yang paling mampu menyadari individualitasnya. Pada saat yang sama manusia mampu berperan serta dalam segala sesuatu melalui pikiran, perasaan dan imaginasinya. Tujuan mistisisme cinta ialah melakukan perjalanan rohani menuju Diri Hakiki dan kebakaan, di mana Yang Satu bersemayam.

Rumi – sebagaimana telah dikemukakan — berpendapat bahwa untuk memahami kehidupan dan asal usul ketuhanan dirinya, manusia dapat melakukannya melalui Jalan Cinta, tidak semata-mata melalui Jalan Pengetahuan. Cinta adalah asas penciptaan alam semesta dan kehidupan. Cinta adalah keinginan yang kuat untuk mencapai sesuatu, untuk menjelmakan diri. Rumi malahan menyamakan cinta dengan pengetahuan intuitif. Secara teologis, cinta diberi makna keimanan, yang hasilnya ialah haqq al-yaqin, keyakinan yang penuh kepada Yang Haqq. Cinta adalah penggerak kehidupan dan perputaran alam semesta. Cinta yang sejati dan mendalam, kata Rumi, dapat membawa seseorang mengenal hakikat sesuatu secara mendalam, yaitu hakikat kehidupan yang tersembunyi di balik bentuk-bentuk formal kehidupan. Karena cinta dapat membawa kepada kebenaran tertinggi, Rumi berpendapat bahwa cinta merupakan sarana manusia terpenting dalam menstransendensikan dirinya, terbang tinggi menuju Yang Satu. Kata Rumi:

Inilah Cinta: Terbang tinggi ke langit

Setiap saat mencampakkan ratusan hijab

Mula-mula menyangkal dunia (zuhd)

Pada akhirnya jiwa berjalan tanpa jasad

Cinta memandang dunia benda-benda telah raib

Dan tak mempedulikan yang hanya tampak di mata

Ia memandang jauh ke balik dunia rupa

Menembus hakikat segala sesuatu

(Divan)

Dalam bait puisinya yang lain dalam Divan, Rumi mengatakan bahwa Jalan Cinta dalam tasawuf berangkat dari diri yang satu dan menuju ke diri yang lain. Yang pertama adalah nafs yang rendah yang merupakan diri yang palsu dan sering diidentikkan dengan hawa nafsu. Sedangkan yang kedua merupakan diri hakiki, yang di dalamnya terpancar keindahan ilahiyah dari Sang Pencipta. Diri palsu atau hawa nafsu ini diumpamakan sebagai ’orang asing’ oleh Rumi dalam sebuah puisinya:

Jangan bangun rumahmu di tanah orang lain

Bekerjalah demi cita-cita dirimu yang hakiki di dunia ini

Jangan sampai kau terjerat oleh bujukan orang asing

Siapa orang asing itu kecuali nafsumu yang berlebihan pada dunia?

Dialah sumber bencana dan kepiluan hidupmu

Selama hanya tubuh yang kaurawat dan kaumanjakan

Jiwamu tidak akan subur, juga tidak akan teguh

Di bagian lain dalam Matsnawi sang sufi menuturkan: “Hawa nafsumu adalah ibu semua berhala: Berhala benda ialah ular, berhala jiwa ialah naga/Menghancurkan berhala itu mudah, namun menganggap mudah/Menghancurkan hawa nafsu itu tolol/Wahai Anakku, apabila kauingin mengetahui bentuk hawa nafsu/ Bacalah uraian tentang neraka dengan tujuh pintunya/Dari hawa nafsu setiap saat bermunculan tipu muslihat/ Dan dari setiap tipu muslihat seratus Fir’aun dan bala tentaranya terjerumus.”

Tumben…, kampoengsufi jadi serius genee…?

SALAM BAHAGIA,

Salam Sufi Revolusioner, Ama Medio Sept 2010

Categories: Uncategorized
  1. No comments yet.
  1. No trackbacks yet.

Leave a comment