Home > Uncategorized > Mengenal Rumi (Bagian 2)

Mengenal Rumi (Bagian 2)

Apa relevansi karya Rumi bagi dunia seperti sekarang, khususnya bagi kita di Indonesia? Sebaiknya kita kutip saja pandangan Iqbal, seorang tokoh pembaharu pemikiran keagamaan, “Filosof-penyair kebangkitan Timur” dan ”Jembatan Antara Pemikiran Barat dan Timur” sebagaimana dinyatakan Annemarie Schimmel 1972. Sebuah puisi Iqbal dalam antologinya Pas Chih Bayad Kard Ay Aqwam-i Sharq (Apa Yang Harus Dilakukan Bangsa-bangsa Timur) berjudul ”Kepada Matahari Yang Menerangi Dunia” khusus ditujukan kepada Rumi. Iqbal menyebut Rumi sebagai Raushan Damir, yaitu orang yang memiliki penglihatan ruhani yang tajam sehingga mampu membaca rahasia hati dunia dan peristiwa-peristiwa kemanusiaan yang tersembunyi. Dari Rumi kita dapat memetik banyak pelajaran bagaimana membenahi jiwa umat yang sedang kusut dan morat marit. Pikiran-pikiran Rumi yang profetik (’mengandung pesan kenabian’) memiliki tenaga pembebasan dan pencerahan, terutama bagi mereka yang bersedia meresapi ajaran Rumi secara mendalam.

Pertama, menurut Iqbal, Rumi mengajarkan bahwa masyarakat tidak dapat didorong menjadi aktif tanpa apa yang disebut sukr dan junon, yaitu keadaan jiwa dan pikiran (state of mind) yang diliputi rasa mabuk kepayang dan anthusiasme ketuhanan. Sebagai keadaan jiwa dan pikiran yang menguasai diri seseorang, keduanya timbul dari dorongan Cinta yang kuat sehingga seseorang menjadi berani menggapai sebuah cita-cita walau pun harus menempuh berbagai kesukaran serta menuntut pengurbanan diri.

Kedua, pada zaman modern ini begitu banyak orang yang lupa bahwa jiwa dan ruhani sebenarnya lebih penting dari benda-benda. Rumi mengajarkan bahwa pikiran tidak bermanfaat apabila tidak didasari spiritualitas. Suatu masyarakat tidak pula memiliki sendi-sendi kehidupan sosial dan politik yang kuat apabila tidak memiliki moral yang tangguh dan spiritualitas yang tinggi.

Ketiga, Rumi senantiasa mengingatkan bahwa masyarakat yang sedang mengalami krisis yang multi-dimensi perlu mempelajari kembali nilai-nilai keruhanian dari agama, bukan hanya bentuk formal peribadatannya, aspek legalistik formal dan bentuk doa-doanya. Rumi juga mengingatkan agar manusia mau mempelajari betapa pentingnya hubungan agama dengan politik. Di sini sang Sufi berbicara tentang Politik Islam, bukan tentang Islam Politik. Islam Politik adalah upaya menjadikan Islam sebagai kendaraan politik untuk mencapai tujuan tertentu di bidang politik seperti meraih dukungan massa dan mencapai kekuasaan. Setelah kekuasaan diperoleh maka massa pendukungnya pun segera ditinggalkan. Politik Islam adalah sebaliknya, ialah bagaimana melakukan kegiatan politik dan menjalankan kekuasaan berdasarkan moral Islam yang mengutamakan keadilan. Dalam bukunya Javid Namah, Iqbal mengecam para cendekiawan Muslim yang sebagian besar acuh tak acuh terhadap pembinaan pribadi dan pendidikan umat. Mereka membiarkan pemerintahan jatuh ke tangan orang-orang yang tidak berkeahlian dalam bidangnya, tidak memiliki wawasan kebudayaan yang luas, rakus serta mementingkan diri sendiri, sedangkan umat dibiarkan miskin, bodoh dan terkebelakang, serta jahil terhadap hakikat sebenarnya dari ajaran agama dan kebudayaan Islam.

Keempat, Rumi mengatakan bahwa apabila manusia telah berhenti menjadi makhluq keruhanian dan cenderung menjadi makhluq kebendaan, maka akan mudah dilanda nihilisme dan keputus-asaan yang hebat. Jika sudah demikian pertahanannya akan rapuh melawan krisis yang setiap kali bisa datang dalam hidupnya, apalagi dalam suatu masyarakat yang tatanan sosial dan kehidupan ekonominya belum mantap, sebagaimana dihadapi kaum Muslimin pada abad ke-13 M di bekas wilayah kekhalifatan Baghdad. Hal yang sama berlaku pula bagi kebudayaan. Tanpa dilandasi nilai-nilai dan cita-cita ruhani yang mantap, kebudayaan suatu bangsa akan mudah rapuh dan akibatnya suatu bangsa akan mudah diombang-ambingkan bangsa lain yang lebih kuat. Kebudayaan yang tidak dilandasi nilai agama dan ruhani tidak pula bisa bertahan lama, serta tidak bisa dijadikan landasan untuk menciptakan jati diri. Tanpa memiliki kebudayaan suatu beragama tidak akan mampu pula menciptakan sejarah dan menegakkan keberadaan dan martabatnya di tengah bangsa-bangsa lain.

Kelima, agar manusia selamat maka tujuan hidupnya harus ditegakkan di atas keabadian atau nilai-nilai yang abadi, bukan di atas kesementaraan atau nilai-nilai yang bersifat sementara. Segala yang bersifat sementara, seperti halnya tubuh jasmani, mudah lapuk, begitu pula dengan materialisme, hedonisme material, konsumerisme, relativisme budaya dan lain-lain yang sejenis.

Rumi tampil sebagai tokoh terkemuka pada zamannya setelah menyadari bahwa banyak orang di sekelilingnya memeluk suatu agama disebabkan situasi-situasi tertentu yang tidak disadari penyebabnya. Setelah mereka memeluk suatu agama dan memperoleh pengetahuan formal tentang agama yang diianutnya mereka pun merasa puas. Dalam kenyataan perilaku, kepribadian dan pikiran mereka tidak mengalami perubahan yang berarti. Begitu pengajaran yang diberikan kepada mereka selama ini ternyata tidak dengan serta merta mampu mendorong hati dan perasaan mereka tumbuh dengan baik, dalam arti tertuju pada sesuatu yang lebih positif dan bermakna. Perilaku, jiwa, kepribadian dan pemikiran seseorang bisa berubah apabila sikap, pandangan hidup dan gambaran dunia (worldview) dalam jiwa mereka mengalami perubahan. Agar itu bisa terjadi maka kesadaran batinnya harus dirubah. Ini merupakan tugas ilmu-ilmu agama, khususnya tasawuf dan falsafah.

Rumi juga berpendapat bahwa pikiran seseorang akan terang dan memperoleh ’pencerahan’ apabila orang tersebut memiliki perasaan positif terhadap segala sesuatu. Rumi menyadari – dalam pengalamannya – bahwa pertentangan berlarut-larut yang timbul antar golongan masyarakat, juga di kalangan penganut agama yang sama namun berlainan madzab, sering terjadi karena satu sama lain tidak saling mengetahui keadaan masing-masing. Sebagai seorang guru yang telah bertahun-tahun mengajar berbagai ilmu kepada santrinya, Rumi insaf bahwa ternyata ilmu syariat, fiqih dan ilmu mantiq (logika) yang diajarkan kepada murid-muridnya ternyata tidak lebih sebagai sarana belaka, yang bisa saja melahirkan kebaikan atau keburukan.

Semua itu mendorong Rumi mengajukan pertanyaan-pertanyaan mendasar. Misalnya: Jika ilmu pengetahuan dan logika membuat orang semakin pandai dan cerdik, mengapa pada saat yang sama menimbulkan permusuhan? Mengapa orang beriman berpikiran sempit dan banyak melakukan penyimpangan? Apakah pandangan sempit merupakan sifat dan ciri para pendiri agama besar? Apa sebenarnya nilai kitab suci bagi orang beriman? Apakah hanya untuk dibaca dengan suara merdu dan tidak untuk ditafsirkan dalam rangka menjawab realitas kehidupan? Mengapa orang beriman yang tahu isi kitab suci gagal dalam tindakan dan muamalah? Jika rasa cinta tumbuh dalam diri seseorang, mengapa sikapnya lantas berubah, pemahaman yang segar lantas muncul dan perbedaan pendapat tentang hal-hal yang bersifat furu’ lantas dilupakan?

Sebagai karya religius dan profetik Matsnawi memang bukan sebuah buku falsafah yang ditulis secara sistematis dan runut. Ia berbeda misalnya dengan Kasyf al-Mahjub Ali Utsman al-Hujwiri, Ihya` Ulumuddin Imam al-Ghazali dan Futuhat al-Makkiyah Ibn `Arabi. Dalam karya agungnya itu Rumi menyebarkan pemikiran, gagasan dan perenungannya dalam untaian karangan bersajak yang indah, menggunakan metafora (ishti`ara), tamsil dan kias. Kalau Imam al-Ghazali dan Ali Utsman al-Hujwiri menggunakan bahasa diskursif dari falsafah dan ilmu, Jalaluddin Rumi menggunakan bahasa figuratif sastra (majaz). Kedua cara memberikan pengaruh yang berbeda bagi pembaca sesuai kecenderungan jiwa dari masing-masing pembacanya.

Whinfield, salah seorang penerjemah karangan Rumi dalam bahasa Inggris, mengatakan bahwa Matsnawi merupakan pemaparan tasawuf eksperiensial atau yang dialami secara langsung oleh pengarangnya. Ia bukan merupakan uraian tentang apa dan bagaimana tasawuf. Melalui karyanya Rumi mengungkapkan pengalaman dan gagasan keagamaannya secara puitik. Sedangkan kodrat pengalaman yang disajikan Rumi dalam karyanya benar-benar bersifat keagamaan, yaitu suatu pengalaman yang tidak semata-mata dipompa oleh pemikiran falsafi dan pengetahuan formal tentang agama, melainkan suatu pengalaman yang memiliki daya dan corak hidupnya sendiri disebabkan oleh dorongan ’cinta’ yang membara dalam diri orang yang mengalaminya.

Cinta bagi Rumi memiliki arti sebagai “Perasaan sejagat”, “Sebuah ruh persatuan dengan alam semesta”. Cinta adalah pemulihan terhadap kesombongan yang melekat dalam diri manusia, tabib segala kelemahan dan dukacita. Cinta juga adalah kekuatan yang menggerakkan perputaran dunia dan alam semesta. Dan cinta púlalah yang memberikan makna bagi kehidupan dan keberadaan kita. Makin seseorang mencintai, makin larutlah ia terserap dalam tujuan-tujuan ilahiyah kehidupan. Dalam tujuan-tujuan ilahiyah penciptaan inilah manusia memperoleh makna yang sebenarnya dari kehidupannya di dunia dan itu pulalah yang memberinya kebahagian rohaniah yang tidak terkira nilainya.

Naon kampoengsufi berisi artikel yg TIDAK kampungan kieu..?

Salam BAHAGIA, Ama 

Lembang Tiris, 1 Okt’ 2010

Categories: Uncategorized
  1. No comments yet.
  1. No trackbacks yet.

Leave a comment